nasgormafia.com, Terlempar ke Grup II Zona Asia Oseania merupakan kenyataan pahit bagi tim tenis putri Indonesia. Materi petenis putri Tim Fed Cup (Piala Federasi) Indonesia memang sudah terukur sebelum keberangkatan mereka ke Shenzhen, Cina. Peringkat dunia yang dimiliki tiga Srikandi Indonesia harus diakui masih di bawah petenis dari enam negara lainnya di Grup I Zona Asia Oseania.
Di Pool B, dalam turnamen dengan sistem round robin itu, Indonesia bersama Thailand, Kazakhstan, dan Korea Selatan. Kemenangan dalam pertandingan hanya satu kali diperoleh Ayu Fani Damayanti, saat mengalahkan So Jung-Kim dari Korea Selatan. Kemenangan ini pun sudah terbaca sebelumnya karena Ayu memiliki peringkat 223 dunia, jauh lebih tinggi dari Kim, yang berada di posisi 304 dunia.
Sementara pada babak play off, Indonesia ditekuk Uzbekistan 3-0. Hasil ini memastikan Indonesia harus kembali ke Grup II Asia Oseania. Memang berat bagi Indonesia untuk bertahan di Grup I dengan materi pemain yang masih di tingkat 200 dunia ke atas. Bahkan dua rekan satu tim Ayu Fani, yakni Lavinia Tananta dan Jessy Rompies, masing-masing masih duduk di peringkat 462 dan 448 dunia.
Rata-rata petenis di Grup I ini menduduki peringkat 100-300-an dunia. Keunggulan lainnya, mereka mempunyai jam terbang lebih tinggi dalam mengikuti berbagai pertandingan. Alhasil, pengalaman mereka menghadapi pemain asing dan menjajal berbagai jenis lapangan jauh lebih sering.
Dalam sejarah Fed Cup, Indonesia mulai tampil pertama kali tahun 1969. Sejak itu prestasi Indonesia naik turun dan terbaik ketika mencapai perempat final Grup Dunia tahun 1991, saat ditaklukkan Spanyol 0-2. Indonesia memang tak pernah absen di turnamen ini. Namun hampir setiap tahun tak mempunyai banyak pilihan materi pemain. Mulai dari era petenis Suzanna Anggarkusuma, Romana Tedjakusuma, Yayuk Basuki, Liza Andriani, Wynne Prakusya, sampai Angelique Widjaja.
Setelah era Yayuk Basuki di tahun 1990-an dan Angelique Widjaja tahun 2000-an, belum muncul bintang tenis putri Indonesia yang bersinar. Yayuk pernah mencapai perempat final Wimbledon tahun 1997 dan menduduki peringkat 19 dunia. Sedang Angie (panggilan Angelique) saat usia 17 tahun sudah menjadi perbincangan dunia ketika merebut gelar juara Wimbledon Junior 2001. Bahkan pada tahun yang sama dia berhasil merebut turnamen Tier III Wismilak Open, di Bali, yang mendongkrak peringkatnya di 55 dunia.
Melihat prestasi Yayuk dan Angie, sangat mungkin petenis putri Indonesia lainnya bisa mencapai prestasi yang menyamai mereka. Bahkan lebih. Yayuk dan Angie telah menjawab keraguan bahwa petenis putri Indonesia bisa “berbicara” di kancah tenis internasional.
Prestasi di dunia tenis bisa diperoleh seiring dan sejalan dengan latihan dan pengalaman bertanding di berbagai turnamen international. Pengurus Besar Persatuan Lawn Tenis Indonesia (PB Pelti) sebagai asosiasi seharusnya lebih banyak menggelar turnamen tenis, mulai dari tingkat sekolah, antar-klub, kejuaraan nasional, piala gubernur, sampai turnamen internasional. Ini untuk menumbuhkan atmosfer persaingan.
Turnamen internasional dibutuhkan petenis untuk memiliki peringkat dunia, sehingga mempunyai jenjang karier yang jelas. Tahun lalu ada tujuh turnamen Women’s Circuit digelar di Indonesia. Sedangkan tahun ini, sampai bulan Juni, baru dua turnamen Women’s Circuit yang akan digelar. Jumlah turnamen internasional yang minim ini membuat Indonesia miskin petenis kelas dunia. Berbeda dengan negara-negara di Eropa, Amerika, Rusia, yang mempunyai puluhan turnamen pada level ini, sehingga tak sulit menemukan petenis dengan peringkat 100-200 dunia.
Selain memperbanyak turnamen di berbagai level baik nasional maupun internasional, PB Pelti juga harus memberikan bantuan mencarikan sponsor bagi petenis-petenis yang berbakat. Tak jarang para petenis yang berbakat ini justru muncul dari keluarga tak mampu yang tak sanggup mengikuti turnamen internasional.
Dengan turnamen dan sponsor, tinggal menunggu bibit-bibit petenis baru yang bisa tampil di kancah internasional. Semoga.
NUR HARYANTO