TEMPO Interaktif, Jakarta- Geoffrey Mutai dari Kenya menjuarai New York Marathon, kemarin. Pelari 30 tahun ini mencetak waktu 2 jam 5 menit 6 detik. Catatan waktu ini memang belum memecahkan rekor dunia yang dipegang pelari Kenya Patrick Makau dengan 2 jam 3 menit 38 detik. Tapi New York mencatatkan sejarah yang khusus bagi dunia maraton: sebagai lomba dengan pemenang mampu menembus 2 jam 7 menit. Ini merupakan batas psikologis dalam lari 42,195 kilometer itu. Bertahun-tahun tak seorang pelari pun mampu menembus batas ini.
Maraton mencatat penajaman waktu yang siginifikan sejak era 2000-an. Sebelum itu jarang ada pelari yang mendekati 2 jam 7 menit, apalagi 2 jam 5 menit. Tapi pada 2003 Paul Tergat dari Kenya menembus 2 jam 5 menit. Namun pemecahan waktu bersejarah ini tidak menghasilkan perubahan apa pun dalam gaya lari maraton. Bahkan di tahun 2004, 2005, dan 2006 para pelari seolah-olah kembali ke masa sebelum Paul Tergat memecahkan rekor. Jumlah pelari yang melewati 2 jam 7 menit menurun. Tak ada lagi yang mampu mendekati 2 jam 5 menit.
Waktu tempuh yang semakin cepat ini jelas merupakan “Efek Tergat”. Tapi catatan waktu Tergat bertahan lama, walaupun kita tahu pasti akan dipecahkan. Pada 1990-an, rekor-rekor dunia lari jarak jauh di lintasan stadion, khususnya nomor 10 ribu meter, pecah secara meyakinkan. Ini berkat atlet yang berlaga di nomor lari berjarak lebih panjang. Ketika Tergat dan Gebrselassie, dua juara dunia dari “generasi lari lintasan (trek)”, akhirnya pindah ke nomor maraton, kepindahan itu diyakini akan memecahkan kebuntuan pemecahan waktu maraton.
Tergat adalah yang pertama berhasil. Sedangkan Gebrselassie membutuhkan waktu lebih lama. Selanjutnya ia menduduki puncak daftar tahunan dengan konsistensi yang menakjubkan. Tapi terobosan besar waktu sampai 2007, ketika Gebrselassie berlari 2:04:26 untuk menang di maraton Berlin. Ini adalah catatan prestasi yang seolah-olah membuka “gerbang penahan banjir” prestasi. Pada 2008, prestasi baru tercipta, dengan Samuel Wanjiru dari Kenya dan Gebrselassie sebagai pembuka jalan.
Tahun 2008, Gebrselassie bahkan lebih baik, menerabas 2 jam 04 menit, dan diikuti sejumlah pelari lain yang menembus 2 jam 06 menit. Dunia maraton menyebutnya “Efek Gebrselassie”. Pada 2008 itu lima pelari mematahkan waktu 2 jam 6 menit--pertama kalinya sejak 2003, selain Gebrselassie. Tentu saja pada 2008 ada catatan emas ketika Haile Gebrselassie berlari 2:03:59 untuk mengukir rekor dunia di Berlin.
Baca Juga:
Bahwa prestasi di Berlin merupakan yang paling signifikan tahun 2008, itu tak bisa dimungkiri. Tapi prestasi Samuel “Sammy” Wanjiru di Olimpiade Beijing Marathon tahun 2008 juga luar biasa. Wanjiru menjadi semacam katalis perubahan bagi sikap pelari maraton sampai sekarang. Berlari pada hari yang panas dan lembap di Beijing, mengubah maraton dari sekadar lomba menjadi tempat perang yang diserang musuh. Para penulis maraton seperti Jim Ferstle menyebut telah terjadi "Efek Wanjiru" di Beijing.
Sebelumnya belum pernah ada pelari Kenya yang merebut medali emas Olimpiade. Wanjiru akhirnya menjawab tantangan itu. Ia berlari dengan tempo cepat, sebuah tempo yang bisa membuatnya “terbunuh”. Wanjiru tampaknya menciptakan tempo itu untuk membunuh niat setiap pelari merebut medali emas. Sammy Wanjiru pun mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri--dalam arti sebenarnya. Ia melompat dari balkon rumahnya di Nairobi, Mei 2011 yang lalu.
Sikap Wanjiru dalam berlari, juga Gebrselassie, membawa perubahan pada dunia maraton. Gebrselassie menunjuk menjadi target baru, 2 jam 03 menit, sebagai era baru dunia maraton. Pada 2009, dua pelari menciptakan 2:04:27 di Rotterdam, dan enam lainnya akan melewati 02:06 tahun itu. Jadi secara tota, ada delapan pelari yang mampu mengukir 2 jam 06 menit. Sebagian besar dari mereka adalah pelari Kenya.
SPORT SCIENCE | THE NEW YORK TIMES | TH