TEMPO Interaktif, London - Pengamat MotoGP asal Inggris, Toby Moody, mengaku merasa kehilangan dengan tewasnya Marco Simoncelli, 24 tahun, di Sirkuit Sepang, Malaysia, pada Ahad pekan lalu. Baginya, pengendara bernomor 58 yang berseragam putih ini adalah seorang superstar, yang menjadi pahlawan bagi banyak pemuda penggemar balapan. “Simoncelli akan membuatmu menyaksikan dengan tegang saat dia bertarung di lintasan,” kata Toby dalam tulisannya di Autosport, Senin, 24 Oktober 2011.
Awalnya, Toby, yang kerap menjadi komentator MotoGP di televisi maupun radio itu, mengaku kurang terkesan dengan kemenangan-kemenangan si kribo di kelas 250 cc pada periode 2008-2009. “Karena sering jatuh di kelas MotoGP tahun lalu, dia hanya membuktikan dirinya sebagai orang yang agak gila,” kata Toby. Ditambah lagi, Super Sic, begitu dia dijuluki, kembali jatuh di dua sirkuit berikutnya, Laguna Seca dan Brno.
Namun pendapatnya yang cenderung miring mengenai Super Sic mulai berubah saat pembalap asal Italia itu berani menggeber motornya habis-habisan melebihi kapasitas standar di Sirkuit Misano. “Meski saat itu dia memang jatuh lagi.”
Pada awal tahun ini, yang merupakan tahun keduanya di kelas MotoGP, Simoncelli berhasil mendapat kerja sama dengan Honda Racing Corporation dan Gresini, yang tergabung dalam kelompok San Carlo Honda Gresini. Pabrikan Honda melihat potensi di dalam diri Super Sic yang tidak terlihat oleh pabrikan lainnya. “Di Sirkuit Catalunya, saya menjabat tangannya atas keberhasilan dia menempati posisi start terdepan,” kata Toby.
Saat terjadi benturan dengan Dani Pedrosa di Sirkuit Le Mans, para penggemar MotoGP terbelah. Para pengendara senior mencap si kribo sebagai pembalap yang berbahaya dan perlu “dijinakkan”. “Sedangkan saya justru memujinya dalam wawancara langsung,” kata Toby. Kepada Super Sic dan timnya di garasi Gresini di Sirkuit Le Mans usai balapan, Toby berkata, ”Inilah pembalap yang sebenarnya. Cepat dan berani mengambil kesempatan. Inilah pembalap yang dibutuhkan olahraga ini untuk bertahan dan terus berkembang.”
Bagi Toby, kritik yang menyalahkan Super Sic saat itu sudah terlalu berlebihan. “Seakan-akan orang-orang itu tidak pernah jatuh saat belajar menuju puncak sebagai pembalap.” Super Sic, menurut Toby, justru belajar mendengarkan dan akhirnya memang mau mengendurkan caranya membalap.
Belakangan, para fans-nya semakin banyak. Ini terlihat dari lambaian bendera dan kaus bernomor 58, yang tampak di barisan penonton. Bagi Toby, Super Sic adalah pembalap sejati yang hanya butuh sedikit penyesuaian seperti semua pembalap ulung lainnya. Valentino Rossi, Casey Stoner, dan Mick Doohan akhirnya juga belajar bagaimana caranya membalap agar tidak jatuh. Dan setelah itu, gelar juara jatuh ke tangan mereka.
AUTOSPORT | BUDI RIZA